Evan Dimas Darmono, nama yang pernah dielu-elukan sebagai harapan sepak bola Indonesia, kini tak lagi muncul di papan skor, tribun gemuruh, atau layar kaca. Sejak tidak lagi berseragam Persik Kediri pada putaran kedua BRI Liga 1 2024/2025, Evan memilih menepi dari gemerlap panggung utama sepak bola nasional.
Namun, ini bukan cerita tentang seorang bintang yang meredup. Ini adalah kisah tentang perubahan arah hidup, tentang bagaimana seorang maestro lapangan tengah menemukan kembali nyala semangatnya, bukan di stadion besar, tetapi di lapangan kecil di Tulungagung — tanah yang kini ia sebut rumah perjuangan baru.
Evan tak lagi mengenakan jersey pertandingan, melainkan kaos latihan sederhana. Ia kini lebih dikenal sebagai pelatih muda yang membina bibit-bibit sepak bola lewat Sekolah Sepak Bola (SSB) Saraswati, yang ia dirikan bersama komunitas seni lokal, Sanggar Seni Saraswati.
Bukan Lagi Mengejar Trofi, Tapi Menanam Nilai
Alih-alih mengejar kontrak besar atau panggilan klub, Evan memilih membangun sesuatu dari nol: mendidik anak-anak agar memahami bahwa sepak bola bukan hanya soal menang, tapi juga soal karakter, etika, dan keindahan permainan itu sendiri.
“Kalau sepak bola cuma gabruk-gabruk kasar, ya nggak enak dilihat. Sepak bola itu juga seni,” ujarnya.
Evan kini rutin melatih tiga kali sepekan, dan mulai memadukan unsur seni, seperti tari tradisional Tulungagung, dalam filosofi latihannya. Baginya, sepak bola dan tari sama-sama mengajarkan ritme, harmoni, dan kontrol — nilai-nilai yang ingin ia tanamkan sejak dini.
Menanggapi Perubahan dengan Tenang
Banyak yang mengomentari perubahan fisiknya — lebih kurus, lebih kalem. Tapi Evan tetap tenang. Ia tahu tubuhnya, dan ia tahu pilihannya. “Saya memang tidak latihan sekeras saat aktif bermain, tapi saya sehat. Dan saya tahu, saya lebih lincah saat kurus,” ucapnya mantap.
Bukan Akhir, Tapi Awal yang Baru
Di usia 29 tahun, Evan Dimas menempuh jalan yang berbeda dari banyak rekannya. Ia belum menutup pintu untuk kembali bermain, tetapi untuk saat ini, ia sepenuhnya fokus pada apa yang ia sebut sebagai panggilan hati.
“Saya belum tahu rencana ke depan, tapi sekarang saya menikmati yang saya jalani. Usia saya masih sangat muda untuk dunia kepelatihan, jadi saya ingin belajar dan berkembang dari sini,” ungkapnya.
Dari Tulungagung, Evan Dimas menyalakan pelita. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk masa depan sepak bola Indonesia.