Manchester United bukan klub yang asing terhadap penolakan dalam perburuan pemain top. Namun, dari sekian banyak kegagalan di bursa transfer, sedikit yang membekas sedalam penolakan Patrick Kluivert pada musim panas 1998.
Keputusan itu tak hanya mengubah arah karier Kluivert, tetapi juga menjadi titik balik dalam salah satu musim paling bersejarah bagi Setan Merah.
Saat itu, Kluivert baru berusia 22 tahun namun sudah dikenal luas di Eropa. Ia baru tampil di Piala Dunia 1998 bersama Belanda dan menjalani musim mengecewakan di AC Milan.
Melihat peluang itu, Manchester United bergerak cepat. Sir Alex Ferguson, yang jeli melihat potensi pemain muda, menilai Kluivert sebagai tambahan ideal di lini depan.
Dalam pandangan Ferguson, Kluivert adalah sosok penyerang modern: cepat, kuat, cerdas, dan klinis di depan gawang.
Penolakan yang Membuat Ferguson Geram
Alih-alih bergabung ke Old Trafford, Kluivert memilih merapat ke FC Barcelona. Keputusan tersebut membuat Ferguson, yang dikenal jarang menunjukkan emosi di hadapan media, merasa kecewa berat.
“Kami yakin dia ingin berbicara dengan kami. Tapi Anda tahu sendiri bagaimana agen bekerja. Mungkin dia tidak menyadari sebesar apa klub Manchester United,” ujar Ferguson kepada The Independent saat itu.
Bagi Ferguson, ini bukan sekadar kegagalan transfer. Ia merasa Kluivert telah melewatkan kesempatan besar. Dalam autobiografinya yang dirilis pada 1999, Ferguson kembali menyentil keputusan sang pemain.
“Kluivert bahkan enggan bicara dengan kami. Saya tidak ragu, kemungkinan besar dia akan lebih menyesal daripada kami,” tulisnya tegas.
Gagal Kluivert, Dapat Yorke
Namun, Ferguson tak larut dalam kekecewaan. Setelah gagal merekrut Kluivert, ia langsung membidik Dwight Yorke dari Aston Villa. Langkah ini terbukti jitu.
Yorke membentuk duet mematikan dengan Andy Cole, dan keduanya menjadi kunci keberhasilan United meraih treble winner pada musim 1998/99—Liga Champions, Premier League, dan Piala FA. Yorke bahkan menjadi top skor klub musim itu dengan 29 gol di semua kompetisi.
Meski gagal mendapatkan Kluivert, United justru menemukan kombinasi sempurna di lini serang. Chemistry Yorke dan Cole menjadi senjata utama yang sulit ditandingi dalam beberapa musim berikutnya.
Dua Jalan, Dua Sukses
Karier Kluivert tetap gemilang. Ia menikmati enam musim penuh prestasi bersama Barcelona, mencetak 122 gol dari 257 laga, dan menjadi ikon Camp Nou. Di level internasional, ia tetap jadi andalan Timnas Belanda.
Namun, tak sedikit yang meyakini bahwa andai Kluivert memilih Manchester United, kariernya bisa saja melesat lebih tinggi. Sebuah pertanyaan ‘andaikan’ yang tak pernah terjawab.
Kini, penolakan Kluivert dipandang dari sudut berbeda. Bagi United, keputusan itu justru menjadi berkah terselubung—karena dari situlah Dwight Yorke datang dan membuka jalan menuju salah satu era terbaik dalam sejarah klub.