Bagi Evan Dimas, cintanya pada si kulit bundar kini menemukan bentuk baru—bukan lagi sebagai pengatur tempo di lapangan, melainkan sebagai pelatih yang memadukan sepak bola dengan seni di sebuah desa kecil di Tulungagung.
Sejak tak lagi aktif di klub profesional, mantan kapten Timnas Indonesia ini memilih jalan berbeda: mengabdikan diri sebagai pelatih di SSB Saraswati, sekolah sepak bola yang berada di bawah naungan Sanggar Seni Saraswati di Dusun Majan, Desa Mojoarum, Kecamatan Gondang, Tulungagung.
Bukan Sekadar Latihan Sepak Bola Biasa
SSB Saraswati bukan sekolah sepak bola pada umumnya. Di sini, sepak bola bertemu seni. Di tengah suasana desa yang tenang, Evan membangun pendekatan pelatihan yang unik—ia mengajarkan anak-anak bukan hanya cara menggiring bola, tetapi juga cara memahami irama, harmoni, dan struktur permainan, layaknya tarian yang penuh makna.
“Saya ingin memasukkan unsur-unsur dari seni ke dalam sepak bola,” kata Evan saat ditemui di sela latihan sore.
Ia mengamati langsung latihan tari di sanggar dan menemukan bahwa pola gerak dalam tari memiliki kesamaan dengan dinamika permainan sepak bola: formasi, tempo, koordinasi, dan kerja sama tim.
Reog Kendang: Dari Tarian ke Latihan Rondo
Salah satu inspirasi terbesar Evan datang dari Reog Kendang—tarian khas Tulungagung yang menampilkan gerakan memutar sambil menabuh kendang. Bagi Evan, ini mengingatkannya pada rondo, latihan populer dalam sepak bola yang menekankan pergerakan bola dalam tekanan.
“Ketika ada satu lawan di tengah dan kita harus keliling mengoper bola, kerja sama sangat penting. Itu bisa kita kaitkan dengan konsep dari Reog Kendang,” jelasnya.
Evan juga menyebut Brasil sebagai contoh ideal negara yang berhasil mengawinkan seni dan sepak bola. Di negeri Samba, irama samba memengaruhi gaya bermain yang menawan dan ekspresif.
“Kalau sepak bola cuma gabruk-gabruk kasar, ya nggak enak ditonton. Harus ada seni dalam cara bermain,” ucapnya.
Sepak Bola sebagai Bentuk Ekspresi
Bagi Evan, sepak bola adalah seni. Ia percaya bahwa permainan yang ideal bukanlah soal menang atau keras-kerasan, melainkan tentang bagaimana permainan itu mengalir dengan indah dan enak dilihat.
“Sepak bola itu seni. Bukan soal siapa paling keras. Tapi bagaimana kita bisa bermain rapi, saling memahami, dan menyatu dalam permainan.”
Filosofi itu ia tanamkan ke anak-anak SSB Saraswati. Ia ingin anak-anak bukan hanya mahir secara teknis, tapi juga memahami nilai-nilai mendalam dalam bermain bola: kepekaan, etika, dan kebersamaan.
Mendidik Karakter, Bukan Sekadar Skill
Di lapangan kecil Mojoarum, Evan berperan lebih dari sekadar pelatih. Ia menjadi panutan, guru, sekaligus sahabat bagi anak-anak asuhnya. Ia menanamkan pentingnya menghormati satu sama lain, membangun kekompakan, dan menjunjung tinggi nilai kerukunan.
“Yang besar harus bisa menjaga adik-adiknya. Yang kecil harus hormat pada kakaknya. Sepak bola bukan hanya soal menang, tapi bagaimana kita bermain dengan hati,” tutup Evan.
Lewat sepak bola dan tarian, Evan Dimas menyalakan semangat baru di Tulungagung. Mungkin tak banyak yang melihatnya sekarang, tapi dari lapangan sederhana ini, ia sedang menanam benih masa depan sepak bola Indonesia—dengan sentuhan seni dan ketulusan hati.