Kegagalan Timnas Indonesia U-22 di SEA Games 2025 Thailand menjadi tamparan keras bagi sepak bola nasional. Datang dengan status juara bertahan, diperkuat pemain naturalisasi, serta ditangani pelatih sarat pengalaman seperti Indra Sjafri, Garuda Muda justru tersingkir di fase grup.
Perjalanan Indonesia di fase grup jauh dari kata meyakinkan. Kekalahan 0-1 dari Filipina menjadi awal yang mengejutkan. Pada laga berikutnya, Indonesia kembali gagal tampil dominan saat menghadapi Myanmar. Meski akhirnya menang 3-1 setelah sempat tertinggal lebih dulu, hasil tersebut tidak cukup untuk menyelamatkan langkah Indonesia yang kalah selisih gol dari Malaysia.
Hasil ini tentu menjadi sorotan tajam, terutama bagi Indra Sjafri yang sebelumnya sukses mempersembahkan medali emas SEA Games 2023 di Kamboja. Ekspektasi tinggi publik tak berbanding lurus dengan performa di lapangan.
Pola Lama yang Mudah Terbaca
Pengamat sepak bola nasional, Erwin Fitriansyah, menilai kegagalan Indonesia tak lepas dari problem klasik yang terus berulang.
“Ciri khas Indonesia itu kalau sudah buntu, mainnya long ball. Itu yang jadi sarkasme banyak orang,” ujar Erwin melalui kanal YouTube Nusantara TV.
Menurutnya, pendekatan permainan Timnas Indonesia masih mudah ditebak dan kerap kehilangan solusi ketika menghadapi lawan dengan organisasi permainan yang rapi.
Belajar dari Malaysia dan Vietnam
Erwin juga menyinggung pengalamannya saat meliput Piala AFF 2014 di Vietnam. Kala itu, Indonesia mengalami hasil buruk, sementara Vietnam mulai menunjukkan fondasi kuat sebagai kekuatan baru Asia Tenggara.
“Saya ke Vietnam tahun 2014. Waktu itu Indonesia kalah dari Vietnam dan Filipina. Tapi yang bikin saya takjub adalah fasilitas mereka,” ungkapnya.
Ia menyebut kompleks latihan Timnas Vietnam yang terletak tak jauh dari stadion utama Hanoi memiliki enam lapangan latihan, kolam renang, hingga pusat kebugaran modern.
“Dari situ kelihatan bagaimana mereka mempersiapkan tim nasional secara serius,” tambahnya.
Fondasi Kuat Jadi Pembeda
Menurut Erwin, keberhasilan Vietnam dan Thailand bukan terjadi secara instan. Kedua negara tersebut konsisten membangun sepak bola dari hulu ke hilir, mulai dari fasilitas, sistem kompetisi usia muda, hingga manajemen tim nasional.
“Itu sebabnya Vietnam dan Thailand punya ciri khas yang kuat. Mereka bukan hanya menyulitkan Indonesia, tapi juga saling menantang sebagai raja Asia Tenggara,” tegasnya.
Ia menilai keseriusan pembinaan jangka panjang inilah yang membuat kedua negara tersebut selalu selangkah lebih maju dibanding Indonesia.
Identitas Permainan Indonesia Memudar
Berbeda dengan Thailand dan Vietnam, Indonesia dinilai masih terus mencari identitas permainan. Setiap era pelatih memang membawa warna tersendiri, namun belum berkesinambungan.
“Waktu Luis Milla kelihatan arah mainnya. Shin Tae-yong juga punya karakter. Di era Indra Sjafri dulu ada ciri khas permainan pendek-pendek perapat,” kata Erwin.
Namun menurutnya, pola tersebut kini tak lagi relevan jika tidak dikembangkan mengikuti dinamika sepak bola modern.
“Mungkin masanya sudah lewat. Sekarang ciri khas itu hilang lagi,” pungkasnya.
Kegagalan di SEA Games 2025 menjadi alarm keras bahwa prestasi tak bisa hanya mengandalkan nama besar pelatih atau status juara bertahan. Tanpa pembinaan yang konsisten dan sistematis seperti yang dilakukan Thailand dan Vietnam, Timnas Indonesia akan terus kesulitan bersaing di level Asia Tenggara.
