Masih ingat dengan Han Willhoft-King? Pemain muda berusia 19 tahun itu kini resmi mengakhiri kariernya sebagai pesepak bola profesional dan memilih fokus penuh pada dunia akademik.
Han pernah menjadi bagian dari proyeksi skuad Timnas Indonesia U-17 untuk Piala Dunia U-17 2023. Lahir di London dari ayah yang tumbuh besar di Jakarta dan ibu berdarah China-Amerika, Han memiliki peluang untuk membela Garuda Muda. Namun kesempatan itu kandas karena ia tidak memiliki paspor Indonesia.
Proses naturalisasi sempat menjadi opsi, tetapi waktu yang sangat mepet membuat PSSI tidak dapat menyelesaikannya sebelum turnamen, sehingga Han batal memperkuat Indonesia.
Memilih Pendidikan, Terinspirasi Keluarga dan Situasi Cedera
Saat ini Han Willhoft-King menetap di Inggris dan menempuh pendidikan di Oxford University, mengambil jurusan Ilmu Hukum. Keputusan ini tak lepas dari pengaruh lingkungan keluarganya — ayahnya merupakan seorang dosen filsafat, sehingga dunia akademik sudah tidak asing baginya.
Selain itu, cedera yang cukup serius turut memengaruhi kemampuan fisiknya sehingga jalur sepak bola profesional menjadi semakin berat. Meski tidak lagi tampil di level elite, Han tetap bermain sepak bola secara non-profesional.
Prestasi akademiknya pun sangat mengesankan. Ia meraih nilai A di beberapa mata pelajaran seperti Matematika, Sejarah, dan Ekonomi, memperlihatkan bahwa kemampuannya di bidang pendidikan tidak kalah menonjol dibanding bakat sepak bolanya.
Penjelasan Han Soal Pensiun: Butuh Tantangan yang Lebih Menggugah
Dalam wawancara bersama The Guardian, Han terbuka soal alasan utamanya meninggalkan sepak bola profesional. Ia mengaku merasa kurang mendapat stimulasi intelektual saat berkecimpung di dunia sepak bola.
“Saya sering merasa tidak cukup tertantang saat bermain bola. Bukan berarti saya tidak menyukainya, tetapi saya merasa bisa melakukan hal lain yang lebih berarti. Saya menghabiskan banyak waktu tanpa benar-benar berkembang. Oxford membuat saya bersemangat—lingkungannya juga mendukung,” ujarnya.
Han menambahkan bahwa cedera memang menjadi salah satu faktor, tetapi bukan alasan utamanya.
“Saya butuh sesuatu yang lebih secara intelektual. Mungkin terdengar sedikit sok, tetapi itulah yang saya rasakan,” tuturnya.
