Keterpurukan prestasi sepak bola Indonesia sepanjang setahun terakhir di berbagai ajang internasional memantik reaksi keras dari publik. Pencinta sepak bola nasional merindukan kebangkitan Tim Garuda di semua level, seperti yang pernah terjadi pada era kepelatihan Shin Tae-yong.
Keputusan PSSI memecat Shin Tae-yong beserta staf asal Korea Selatan dan menggantikannya dengan Patrick Kluivert serta tim kepelatihan dari Belanda kini banyak dianggap sebagai langkah keliru. Rentetan prestasi yang sebelumnya diukir Timnas Indonesia di bawah Shin Tae-yong seolah terhapus begitu saja.
Padahal, animo masyarakat terhadap Timnas Indonesia kala itu meningkat luar biasa. Publik menikmati gaya bermain agresif, disiplin, dan penuh daya juang yang ditampilkan para pemain Garuda.
Sayangnya, kebanggaan tersebut perlahan sirna seiring rentetan kegagalan yang dialami Timnas Indonesia di berbagai level usia. Awalnya, performa buruk Timnas Indonesia U-20 asuhan Indra Sjafri di Piala Asia U-20 menjadi sinyal awal kemunduran.
Situasi memburuk ketika Timnas Indonesia U-23 di bawah Gerald Vanenburg kehilangan identitas permainan. Permainan yang monoton membuat Kadek Arel dan kawan-kawan gagal menjuarai Piala AFF U-23 serta tak mampu berbicara banyak di Kualifikasi Piala Asia U-23.
Padahal, pada era Shin Tae-yong, Timnas Indonesia U-23 mampu mencatat sejarah dengan menembus semifinal Piala Asia U-23 2024. Bahkan, Rizky Ridho dan kolega nyaris lolos ke Olimpiade Paris 2024 sebelum terhenti secara kontroversial di laga playoff melawan Guinea U-23.
Ekspektasi tinggi juga dibebankan kepada Patrick Kluivert di Kualifikasi Piala Dunia 2026. Namun, alih-alih membawa peningkatan, Timnas Indonesia justru gagal melaju ke putaran final di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko.
Puncaknya, kegagalan Timnas Indonesia U-22 di SEA Games 2025 Thailand memunculkan indikasi keretakan di tubuh PSSI. Saling tuding antarpejabat federasi pun mulai mencuat, dengan sorotan mengarah kepada Ketua Umum PSSI Erick Thohir dan Wakil Ketua Umum Zainudin Amali.
Federasi Harus Solid
Pengamat sepak bola asal Malaysia, Raja Isa Raja Akram Shah, menilai soliditas internal PSSI menjadi kunci utama untuk keluar dari krisis prestasi yang tengah dialami.
“Di tengah kegagalan sepak bola Indonesia saat ini, saya rasa seluruh manajemen PSSI, mulai dari ketua umum hingga jajaran Exco, harus duduk bersama di satu meja,” tegas Raja Isa.
“Ini penting untuk menentukan arah dan haluan sepak bola Indonesia demi mengembalikan prestasi Timnas yang sedang terpuruk,” lanjut mantan pelatih PSM Makassar tersebut.
Raja Isa menilai indikasi friksi internal mulai terlihat. Namun, ia menegaskan bahwa perpecahan hanya akan memperparah keadaan.
“Pengurus, terutama Ketua Umum PSSI dan jajarannya, harus kompak dalam mengambil keputusan bersama. Soliditas federasi adalah syarat mutlak agar fokus mengembalikan Timnas Indonesia ke level yang lebih tinggi,” jelasnya.
Pelatih Harus Paham Sepak Bola Indonesia
Terkait sosok pelatih Timnas Indonesia ke depan, Raja Isa menegaskan bahwa figur tersebut tak harus kembali pada Shin Tae-yong. Namun, PSSI wajib memilih pelatih dengan rekam jejak internasional yang jelas dan pemahaman mendalam terhadap karakter sepak bola Indonesia.
“Pelatih Timnas Indonesia tidak harus Shin Tae-yong. Siapa pun bisa, asalkan benar-benar memahami sepak bola Indonesia,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa sepak bola Indonesia memiliki karakter unik yang tak bisa disamakan dengan negara lain.
“Sepak bola di Indonesia berbeda. Di sini, sepak bola adalah olahraga nomor satu. Semua orang bicara sepak bola,” katanya.
Raja Isa bahkan menyebut Indonesia sebagai “Brasil-nya Asia”.
“Sepak bola adalah martabat dan citra bangsa yang harus dijaga. Publik hanya ingin melihat Timnas Indonesia berjuang dan menang. Itu sebabnya keputusan PSSI harus diambil dengan sangat hati-hati,” pungkasnya.
