Timnas Indonesia U-22 Gugur di Fase Grup SEA Games 2025, Pengamat: Bukan Sekadar Kalah Biasa, Ini Alarm Keras

Kegagalan Timnas Indonesia U-22 mempertahankan medali emas di SEA Games 2025 Thailand dinilai bukan sekadar hasil buruk di lapangan. Menurut pengamat, kemerosotan ini menjadi cermin dari persoalan mendasar dalam tata kelola dan pengambilan kebijakan sepak bola nasional.

Founder Save Our Soccer (SOS), Akmal Marhali, menegaskan bahwa tersingkirnya Garuda Muda di fase grup menciptakan catatan kelam. Untuk pertama kalinya sejak 2009, Timnas Indonesia gagal mencapai semifinal SEA Games. Ini juga menjadi kegagalan keenam sejak Indonesia debut pada 1977.

Menariknya, tiga dari enam kegagalan tersebut terjadi saat Thailand menjadi tuan rumah—pada 1985, 2007, dan kini 2025. “Ini bukan sekadar kalah biasa. Ini alarm keras,” tegas Akmal saat dihubungi di Jakarta, Minggu (14/12/2025).

Dari sisi kepelatihan, Akmal menilai hasil ini sebagai fase terburuk Indra Sjafri di SEA Games. Setelah meraih perak pada 2019 dan emas pada 2023, kini Indra harus menerima kenyataan pahit: tersingkir di fase grup.

Padahal, rekam jejaknya di kelompok usia muda terbilang mentereng—juara Piala AFF U-19 2013 dan 2024, juara Piala AFF U-22 2019, hingga emas SEA Games 2023.

“Setiap orang ada zamannya. Kini, sepertinya kita memasuki era kegelapan bagi Indra Sjafri setelah sekian lama penuh prestasi,” ujar Akmal.


Pengakuan Zainuddin Amali

Akmal menegaskan bahwa evaluasi tidak boleh berhenti pada pelatih. Ia menyoroti pernyataan Wakil Ketua Umum PSSI, Zainuddin Amali, yang mengakui bahwa masa persiapan Timnas U-22 untuk SEA Games 2025 hanya berlangsung beberapa bulan—berbanding terbalik dengan SEA Games 2023 yang dipersiapkan hampir tiga tahun.

“Target emas dicanangkan, tapi fondasi persiapannya jauh dari ideal. Ini kontradiksi kebijakan yang harus dipertanggungjawabkan,” ujar Akmal.

Menurutnya, naik-turun prestasi adalah hal lumrah dalam sepak bola, termasuk bagi negara berkembang seperti Indonesia. Bahkan negara besar seperti Italia pun pernah gagal lolos Piala Dunia dua edisi berturut-turut.

Namun, justru karena itu, evaluasi harus dilakukan menyeluruh dan jujur, bukan defensif. “Evaluasi bukan hanya mengganti pelatih, tetapi membangun kembali fondasi yang rapuh agar lebih kokoh,” katanya.


Pelajaran Bersama

Akmal mendorong evaluasi total, mulai dari pelatih, pemain, manajer, hingga seluruh pihak yang bertanggung jawab di struktur tim. Ia juga menekankan pentingnya konsistensi filosofi sepak bola nasional sesuai road map 2045 menuju Golden Era, agar arah pembangunan tidak berubah setiap kali pelatih berganti.

Menutup pernyataannya, Akmal mengajak semua pihak menjadikan kegagalan ini sebagai momentum perbaikan.

“Sekarang waktunya berbenah dan mengambil hikmah. Habis gelap, terbitlah terang. Tapi terang itu hanya datang jika kita berani jujur dan bertanggung jawab,” tegasnya.

Mungkin Anda Menyukai